Korupsi Proyek BTS 4G Kominfo: Harga Menara BTS dan Dampaknya bagi Warga RI

Kasus dugaan tindak korupsi pada proyek Base Transceiver Station (BTS) 4G Kominfo telah melibatkan beberapa individu, termasuk Johnny Plate, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, yang kini telah menjadi tersangka.

Nilai korupsi dalam proyek BTS 4G diperkirakan mencapai sebesar Rp 8 triliun. Angka yang sangat besar ini telah memicu pertanyaan dari banyak warga Indonesia mengenai harga satu menara BTS.

Zulfadly Syam, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), menjelaskan bahwa harga sebuah menara BTS berkisar antara Rp 600 juta hingga Rp 1,5 miliar. Namun, ia menekankan bahwa jumlah ini bergantung pada beberapa faktor.

Faktor-faktor tersebut antara lain lokasi, jalur distribusi material, grounding, dan harga tanah. Adapun antena BTS, Zulfadly menyatakan bahwa mereka disediakan oleh operator.

“Biaya pembangunan menara ditanggung oleh pihak yang membangunnya. Sedangkan antenanya disediakan oleh operator. Seharusnya satu menara dapat digunakan oleh 2-6 operator,” ujar Zulfadly kepada CNBC Indonesia pada hari Selasa (23/5/2023).

Menurutnya, rentang harga tersebut masih masuk akal. Terlebih lagi jika material pembangunan dibeli dalam jumlah besar.

Ketika ditanya mengenai waktu penyelesaian pembangunan, ia menyatakan bahwa itu juga tergantung pada beberapa faktor, seperti proses desain, lokasi, dan fondasi.

“Namun pada umumnya, pembangunan dapat diselesaikan dalam rentang waktu antara 4-6 bulan,” kata Zulfadly.

Kasus korupsi terkait proyek penyediaan BTS dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 BAKTI telah menggegerkan warga Indonesia. Semua proyek ini berlokasi di wilayah 3T, yaitu Papua, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, dan Nusa Tenggara Timur.

Selain Johnny, Kejaksaan Agung juga telah menetapkan beberapa tersangka lain dalam kasus ini. Salah satunya adalah Anang Latif, yang menjabat sebagai Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI).

Proyek ini seharusnya telah selesai pada bulan Desember 2021, namun akhirnya ditunda hingga bulan Maret 2022. Dari anggaran sebesar Rp 10 triliun, hanya sekitar Rp 2 triliun yang dilaporkan sebagai pengeluaran.

“Anggaran sebesar Rp 10 triliun seharusnya digunakan hingga bulan Desember, namun diperpanjang hingga Maret. Laporan yang sebenarnya hanya mencapai Rp 2,1 triliun, dan sisanya sebesar Rp 8 triliun menjadi dasar untuk penyelidikan hukum oleh Kejaksaan Agung,” kata Mahfud Md, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, yang juga menjabat sebagai Pelaksana Tugas Menteri Komunikasi dan Informatika.