Tetap Dihukum Mati, Banding Ferdi Sambo Ditolak Hakim

Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menampik banding yang disodorkan Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan merencanakan pada Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Dengan begitu, bekas Kepala Seksi Karier dan Penyelamatan (Kadiv Propam) Polri itu masih tetap diganjar hukuman seperti vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).

“Memperkuat keputusan pengadilan negeri jakarta selatan nomor Nomor: 796/Pid.B/2022/PN.Jkt.Sel yang disuruhkan banding itu,” kata Ketua Majelis Hakim Singgih Budi Prakoso dalam persidangan di PT DKI Jakarta, Rabu (12/4/2023).

Searah dengan Majelis Hakim PN Jaksel, Majelis Hakim PT DKI Jakarta memandang jika pola Ferdy Sambo lakukan pembunuhan merencanakan pada Yosua tidak harus ditunjukkan.

“Terkait dengan pola yang sudah dilakukan pemohon banding Ferdy Sambo jika judex facti memiliki pendapat pola tidak penting untuk ditunjukkan,” tutur Hakim Singgih.

Dalam pemikiran keputusan pengadilan, Majelis Hakim PN Jaksel memiliki pendapat jika pola bukan elemen utama, hingga tidak harus ditunjukkan dalam sidang. Pola harus dipahami salah satunya untuk tentukan berat entengnya pemidanaan, tapi tidak wajib ditunjukkan.

“Karena pola dengan tersengajaan sebagai dua hal yang beda, terkecuali jika dalam KUHP memang menyaratkan dengan eksplisit pentingnya pola itu ditunjukkan,” kata hakim.

Berkaitan ini, Majelis Hakim PT DKI Jakarta memiliki pendapat jika pola sebagai hal yang menggerakkan seorang untuk lakukan sesuatu perlakuan.

Bila disangkutkan tindak pidana, karena itu pola jadi dorongan yang ada dalam sikap batin atau niat aktor untuk lakukan tindak pidana. Pada proses peradilan, menurut hakim, pola menjadi sisi untuk tentukan berat entengnya hukuman yang hendak dijatuhkan. Namun, karakternya kasuistik.

Oleh karena itu, Majelis Hakim PT DKI Jakarta memiliki pendapat, pola pembunuhan merencanakan dalam kasus kematian Brigadir J tidak harus ditunjukkan.

Menurut hakim, pola yang di-claim bermula dari kekerasan seksual yang sudah dilakukan Brigadir J pada istri Sambo, Putri Candrawathi, tidak terang.

Karena, beberapa saksi penting seperti Kuat Ma’ruf dan saksi Susi yang ada di rumah Magelang, lokasi yang disebut sebagai lokasi berlangsungnya kekerasan seksual, sejak awal kali tidak tahu menahu berkenaan kejadian itu.

“Dengan begitu, apakah yang diperhitungkan oleh judex facti tingkat pertama berkenaan pola ialah telah betul, yaitu bukanlah tidak ada pola, namun ada ketidaksamaan pengartian berkairan dengan pola tersangka Ferdy Sambo di antara penasihat hukum dengan majelis hakim judex facti,” kata hakim Singgih.

Untuk dipahami, empat dari 5 tersangka pembunuhan merencanakan pada Brigadir Yosua ajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Keempatnya yaitu Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf.

Dalam kasus ini, Sambo dijatuhi vonis hukuman mati, lebih berat dari tuntutan beskal yang minta bekas perwira tinggi Polri itu dijatuhi hukuman penjara sepanjang umur.

Sementara, Putri dijatuhi hukuman pidana penjara 20 tahun, lebih berat dari tuntutan beskal yang meminta dijatuhi vonis delapan tahun penjara.

Lalu, Kuat Ma’ruf dijatuhi vonis 15 tahun penjara, lebih berat dari tuntutan beskal yang meminta dijatuhi hukuman delapan tahun penjara.

Vonis Ricky Rizal lebih berat dari tuntutan beskal, yaitu 13 tahun pidana penjara dari tuntutan delapan tahun penjara.

Berlainan dari 4 tersangka yang lain, tersangka Richard Eliezer dijatuhi vonis enteng dalam kasus ini. Oleh majelis hakim, bekas pengawal Ferdy Sambo itu dijatuhi hukuman pidana penjara satu tahun enam bulan.

Dari 5 tersangka, cuma Richard yang hukumannya lebih enteng dari tuntutan beskal. Awalnya, beskal minta hakim memberi hukuman Richard pidana penjara 12 tahun.

Baik faksi Richard atau Kejaksaan Agung memilih tidak ajukan banding atas vonis itu. Hingga, vonis satu tahun enam bulan penjara pada Richard telah inkrah atau memiliki kekuatan hukum tetap.